Kamis, 29 Desember 2011

MUI: Negara Harus Lindungi Karyawan Muslim Agar Tak Dipaksa Berbusana Natal

JAKARTA (voa-islam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) prihatin dengan marakanya pegawai atau karyawan muslim yang mengenakan atribut natal di berbagai perusahaan, ritail di mal-mal hingga toko-toko.

“Sebenarnya sudah ada fatwa MUI, di zaman Buya HAMKA itu telah dikeluarkan fatwa MUI bahwa natalan bersama itu haram, kalau kemudian kita sendiri menggunakan atribut-atribut natalan berarti kita bukan hanya ikut tapi mendukung, apalagi berhari-hari sebelum tanggal 25 sudah pakai,” kata Kyai Cholil, sapaan akrabnya, kepada voa-islam.com Senin (19/12/2011).

Ulama asli Betawi itu juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengawal fatwa MUI dan tidak melindungi ‘aqidah umat sehingga membiarkan umat Islam melawan arus kristenisasi.
“Dari situ memang teruji iman seseorang, bahwa ia harus bekerja apalagi kalau tidak pakai atribut natal dipecat. Inilah karena tidak ada proteksi dari pemerintah, pemerintah kan mestinya memproteksi fatwa MUI supaya jalan kemudian memelihara akidah umat seperti di Malaysia. Beda dengan Indonesia, di Malaysia itu Islam menjadi agama negara sehingga diproteksi baik Islamnya maupun umatnya. Nah kita di Indonesia ini tidak (diproteksi oleh negara, red), umat dibiarkan saja untuk berhadapan dengan arus kristenisasi,” jelasnya.

Kelemahan dari pemerintah dan ketidakpedulian ulama untuk melindungi aqidah umat, lanjut Kyai Cholil, membuat fatwa haram mengikuti natal bersama yang pernah difatwakan MUI hanya menjadi fosil.
“Walaupun natalan itu budaya, tapi itu kan kristenisasi juga kalau kita ikuti kita akan terpengaruh. Ini saya pikir kelemahan pemerintah dan ulama-ulama juga membiarkan. Fatwa haramnya natal bersama itu kan sekarang tidak ada suaranya lagi. Fatwa itu jadi fosil di museum yang tidak efektif lagi digunakan,” ungkapnya.

Pengasuh Ponpes Al-Husnayain ini mengisahkan betapa besarnya pengorbanan Buya HAMKA untuk mempertahankan fatwa haramnya mengikuti natal bersama itu. Dengan berani, Buya HAMKA rela mengorbankan jabatannya sebagai ketua umum MUI daripada harus mencabut fatwa itu. Berkat keteguhan Buya itulah, fatwa haramnya mengikuti natal bersama masih berlaku hingga saat ini.

“Kalau saya sudah sendiri sudah ngomong di mana-mana kalau natalan itu haram, sampai saya bilang Buya HAMKA itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI karena disuruh mencabut fatwa itu dan sampai sekarang fatwa itu tidak pernah dicabut. Artinya fatwa itu masih berlaku  bahwa  haram ikut natalan bersama apalagi dia aktif sebagai orang yang menggunakan atribut Sinterklas,” ujarnya.
Kyai Cholil menegaskan, dasar hukum haramnya natalan bagi umat Islam adalah larangan dalam hadits shahih. Rasulullah SAW bersabda: ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban). 

Umat Butuh Undang-undang Larangan Natal Bersama
Untuk mengatasi kasus natalan, agar umat Islam tidak dipaksa oleh atasan untuk memakai busana natal pada saat jam kerja, Kyai Cholil mengimbau agar pemerintah menerbitkan undang-undang yang melarang umat Islam merayakan Natal bersama. Selain itu, umat Islam harus kompak untuk menolak natalan bersama.

“Mestinya kalau mau hidup rukun beragama dengan pemeluk Islam pegawai dia yang Islam itu tidak perlu menggunakan atribut natal. Pemerintah juga mestinya membuat aturan, Perda atau apa pun bahwa perusahaan yang memiliki pegawai yang muslim dan bukan beragam Kristen tidak boleh diperintah untuk menggunakan atribut-atribut natalan itu seperti Sinterklas dan lain sebagainya. Tapi umat Islamnya juga mesti harus kompak tidak ikut merayakan natalan,” jelas Kyai Cholil yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu. [ahmed widad]
Selengkapnya...

Januari Nanti MUI akan Gelar Ijtima Ulama Nasional di Kalimantan Timur

 
Jakarta (Voa-Islam) – Pada akhir Januari atau awal Pebruari 2012 yang akan datang, Majelis Ulama Indonsia (MUI) akan menyelenggarakan agenda rutin: Ijtima Ulama Nasional, yang akan diikuti oleh sekitar 1600 ulama dari anggota Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, juga para tamu undangan, beberapa tokoh ulama dari luar negeri. Rencananya, Kalimantan Timur akan dipilih untuk dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan tersebut.
Sebelumnya pada 2009, MUI juga telah melaksanakan Ijtima’ Ulama Nasional di Padang Panjang, Sumatera Barat. Pada kesempatan itu dihasilkan berbagai keputusan maupun fatwa, salah satunya tentang fatwa haram rokok.

Sekretaris Jenderal MUI, Drs. H.M. Ichwan Sam mengemukakan, “ijtima’ ulama atau pertemuan para ulama secara nasional ini merupakan agenda rutin dua tahunan MUI untuk membahas dan mencari solusi terhadap berbagai permasalahan umat dan masyarakat yang berkembang dalam kehidupan sosial, terutama dalam hubungannya dengan aspek-aspek keagamaan.
“Banyak anggota masyarakat yang bertanya, meminta bimbingan dan panduan kehidupan keagamaan kepada para ulama di Komisi Fatwa MUI. Seperti meminta fatwa tentang kehalalan jenis-jenis makanan atau bahan tertentu, atau juga menanyakan tentang paham-paham keagamaan yang dianggap baru,dan berbagai permasalahan lainnya, mencakup aspek-aspek akidah, ibadah, dan muamalah. Maka para ulama di MUI pun berusaha menggali, mengkaji dan mencarikan solusinya. Salah satu bentuk yang dikeluarkan adalah dengan mengeluarkan serta menetapkan fatwa,” ujar Ichwan.

Ichwan meminta kepada para anggota Komisi Fatwa MUI Pusat maupun di tingkat propinsi, agar mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk agenda nasional tersebut, sehingga dapat memberikan hasil yang optimal.

Hingga saat ini, Komisi Fatwa secara kelembagaan bersama MUI telah pula menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah yang meminta panduan serupa dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Misalnya dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama, dan Badan Karantina Kementerian Pertanian. Sebagian panduan dan fatwa MUI itu telah pula diadopsi oleh pemerintah. Desastian
Selengkapnya...