HADITS MAUDHU'
(Ciri-Ciri Faktor
Penyebab Periwayatan)
Oleh:
Prof.
DR. H. Utang Ranuwijaya, MA.
A. Muqaddimah
Hadits terjaga dengan adanya
sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan
manakah hadits shahih, hadits dha'if (lemah) dan hadits maudhu’
(palsu). Sanad adalah susunan orang-orang yang meriwayatkan hadits. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara
ketat tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta,
hafalannya kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi
dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus shahih yang
wajib kita jadikan pegangan hidup. Dan dengan demikian tersingkaplah
hadits-hadits palsu bikinan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak
agama Islam. Hanya orang-orang yang tidak mau belajar (baca jahil) saja yang akan
tertipu.
Sebagaimana kita bersikap ilmiah
dalam perkara-perkara dunia maka kita juga harus bersikap ilmiah dalam perkara
agama. Jangan mengambil sebuah hukum atau syariat yang bersumber dari hadits
lemah apalagi hadits palsu. Atau ikut-ikutan menyebarkan hadits-hadits lemah
dan palsu tanpa menjelaskan status hadits itu. Bahkan ada yang dengan mudahnya
mengatakan: “Hadits shahih!” padahal hadits tersebut palsu. Perbuatan
seperti ini telah diancam dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam yang mulia,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia mengambil tempat
tinggalnya di neraka.”[1]
Hadits ini statusnya shahih dan
mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Betapa banyak hadits lemah dan
palsu yang beredar di kalangan umat Islam karena tidak selektifnya dalam
mendengar dan mengambil hadits, akibatnya adalah munculnya masalah dan
penyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, beribadah, berakhlak dan berakidah.
B. Pengertian Hadits
Maudhu' dan Awal Kemunculannya
Secara etimologi: maudhu berasal
dari kata وضع yang
mempunyai beberapa makna di antaranya الحط (merendahkan), الإسقاط (menjatuhkan),
الإختلا ق (mengada-ngadakan),
الالصاق (menyandarkan/menempelkan).
Makna bahasa ini terdapat pula dalam hadits maudhu karena rendah dalam
kedudukannya, jatuh; tidak bisa diambil dasar hukum, dan diada-adakan oleh
perawinya.
Menurut istilah seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj Al-Khatib, dalam kitabnya Ushulul Hadits, yaitu
:
هو ما نُسب الى الرسول صلى الله عليه
وسلم اختلافا وكذبا مِمّـا لَم يقلْه او لَم يفعلْه او لَم يُقررْه
Muhammad
Abu Rayyan dalam kitabnya Al-Adlwa 'ala Sunnah Muhammadiyah yang dikutip Drs
Fatchur Rahman mendefinisikan hadits maudhu' sebagai berikut:
هو المختلَع
المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلم زُورا وبُهتانا سواءٌ كان ذلك
عمْدا ام خطأ
Yang
dikatakan dengan rawi yang berdusta kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam ialah mereka yang pernah berdusta dalam membuat hadits, walaupun
hanya sekali seumur hidupnya. Hadits yang mereka riwayatkan tidak dapat
diterima, biar mereka telah bertobat sekalipun. Berlainan halnya dengan
periwayatan orang yang pernah bersaksi palsu, ia telah bertaubat dengan
sungguh-sungguh maka ia dapat diterima.
Adapun awal kemunculan hadits maudhu' ini dimulai sejak terjadinya
perpecahan di antara kaum muslimin yang ditandai dengan terbunuhnya Ustman bin
Affan radhillahu 'anhu menjadi beberapa firqah (kelompok). Setiap
firqah mencari dukungan dari Al-Qur'an dan As-Sunah. Sebagian kelompok
mentakwilkan Al-Qur'an bukan pada makna sebenarnnya. Dan membawa As-Sunah
bukan pada maksudnya. Bila mentakwilkan hadits mereka menisbatkan kepada Nabi. Terlebih
lagi bila menyangkut keutamaan para imam mereka. Disinyalir bahwa kelompok yang
pertama melakukan hal itu adalah kaum Syi'ah. Hal ini tidak pernah terjadi
paada masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah
dilakukan seorang shahabat pun. Apabila di antara mereka berselisih
mereka berijtihad, dengan mengutamakan kebenaran.
C. Tanda-Tanda
untuk Mengetahui Hadits Palsu
Para ulama telah membuat tanda-tanda matan
hadits maudhu' yang mudah ditengarai kepalsuannya khususnya bagi kita kaum awam
yang tidak terlalu banyak menguasai ulumul hadits. Yaitu:
1.
Tanda/ciri yang terdapat
pada sanad.
a.
Pengakuan dari si pembuat
sendiri
Seorang guru tasawuf misalnya,
meriwayatkan hadits-hadits tentang keutamaan ayat-ayat tertentu, ketika ditanya
oleh Ibnu Ismail [2] tentang hadits-hadits yang dia riwayatkan itu
ia berkata dengan terus terang:
لَم يُحدّثنى أحد
ولكن رأينا الناس قد رغبوا عن القرأن فوضعنا هذا الحديث
"Tidak
satupun yang meriwayatkan hadits kepadaku, akan tetapi serentak kami melihat
manusia-manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini
(keutamaan ayat-ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai
Al-Quran".
Karena menjadi kewajiban kita
sebagai kaum terpelajar untuk melacak hadits-hadits tentang keutamaan beberapa surat atau ayat-ayat
Al-Qur'an dengan tetap berpedoman kepada para alim yang dianugerahi Allah
pemahaman. Misalnya:
مَنْ قَرَأَ يَس فِيْ لَيْلَةٍ أَصْبَحَ
مَغْفُوْرًا لَهُ
"Barangsiapa
yang membaca surat Yaasiin dalam satu malam, maka ketika ia bangun pagi hari
diampuni dosanya.” (Riwayat Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (I/247).
Imam
Ibnul Jauzi berkata: Hadits ini dari semua jalannya adalah bathil, tidak ada
asalnya. Imam Daraquthni berkata: “Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad
hadits ini adalah tukang memalsukan hadits.” [3]
b. Qarinah yang
memperkuat adanya pengakuan membuat hadits maudhu'
Misalnya seorang rawi mengaku
menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut, atau menerima hadits dari seorang guru yang telah meninggal dunia
sebelum ia dilahirkan.
c. Adanya qarinah yang
berpautan dengan tingkah lakunya
Seperti juga kisah Giyats bin Ibrahim An-Nakh'i Al-Kufi dengan
Amir Mukminin Al-Mahdi, ketika masuk ke ruangan Amirul Mukminin dan
menjumpai Al-Mahdi tengah bermain-main dengan burung merpati. Maka ia
menambahkan perkataan dalam hadits yang disandarkan kepada Nabi, bahwa beliau
bersabda:
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فيِ نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ
أَوْ حَافِرٍ أَوْ جُنَاحٍ
"Tidak
ada perlombaan kecuali bermain pedang, pacuan, menggali atau
sayap."
Ia menambahkan kata sayap (junah), yang dilakukan untuk
menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh dirham. Setelah
berpaling, Sang Amir berkata:"Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk
pendusta atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian
Al-Mahdi menyuruh untuk menyembelih burung merpati itu. Tingkah laku
Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan ke-maudhu'-an hadits.
2.
Tanda/ciri yang terdapat
pada matan.
Ciri
yang terdapat pada matan itu dapat dtinjau dari segi makna dan dari segi
lafadznya. Pertama, dari segi makna, misalnya hadits itu bertentangan
dengan ayat Al-Quran atau dalil lain yang mutawatir. Seperti hadits:
وَلَدُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
Matan hadits ini bertentangan dengan kandungan firman
Allah Subhanahuwata'alaa dalam surat
Al-An'aam : 164,
وَلاَ تَزِرُوْا وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى
Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa
seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, sampai seorang anak
sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya. Misal yang lain, seperti
hadits yang menjelaskan tentang umur dunia yang bertentangan dengan kenyataan.
Misalnya: [4]
مِقْدَارُ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةً
وَنَحْنُ فىِ الأَلَفِ السَّابِعَةِ
Hadits ini sangat dusta. Sebab senadainya hadits
ini benar, maka kita tidak akan hidup di alam dunia ini. Pahadal kenyataannya
hingga sekarang alam dunia ini masih berdiri tegak dan Allah telah menjelaskan
hanya Dia sendiri yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat itu. Sebagaimana firman
Allah dalam Q.S. Al-A'raf : 187
Contoh
hadits yang bertentangan dengan sunnah mutawatirah ialah hadits yang memuji
orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad:
وَإِنَّ كًُلَّ مَنْ
يُسَمَّى بِهَذِهِ الأَسْمَاءِ (محمد واحمد) لاَ يَدْخُلُ النَّارَ
Hadits tersebut
bertentangan dengan sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yang
menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut,
akan tetapi keselamatan dari mereka karena keimanan dan amal shaleh.
Contoh matan hadts bertentangan dengan sejarah, seperti hadits yang
menganjurkan perayaan maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang
dikutip oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Madarijush Shu'ud atau
Targhibul Mustaqin, (Kutipan lebih lanjut Syaikh Nawawi Al-Bantani dapat
dilihat di halaman lampiran).
قاَلَ رَسُوْلًُ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ شَفِيْعًا
لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ
أَنْفَقَ دِرْهَمًا فىِ مَوْلِدِىْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جِبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فىِ
سَبِيْلِ اللهِ
Matan
hadits ini bertentangan dengan sejarah, karena perayaan maulid nabi shalallahu
'alaihi wasallam baru diadakan orang pada masa pemerintahan Bani
Fathimiyyah di Mesir (sekitar abad ke 4 Hijriah) kemudian dilanjutkan oleh Abu
Sa'id Al-Qakburi Gubernur Irbil di Iraq pada masa pemerintahan Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi (tahun 1139 – 1193).
Contoh hadits maudhu' yang bertentangan dengan ijma'. Ialah
hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan Syi'ah tentang wasiat Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu untuk
menjadi khalifah, yang menurut mereka bahwa sahabat bersepakat untuk membekukan
wasiat tersebut:
إِنَّهُ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ بِيَدِ عَلِىِ بْنِ اَبىِ طَالِبٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ
بِمَخْضَرِ مِنَ الصَّحَابَةِ كُلِّهِمْ, وَهُمْ رَاجِعُوْنَ مِنَ حَجَةِ الْوَدَاعِ,
فَاقَامَهُ بَيْنَهُمْ حَتىَّ عَرَفَهُ الْجَمِيْعُ, ثُمَّ قَالَ: وَصِىِّ وَأَخِىْ
وَالْخَلِيْفَةُ بَعْدِى, فَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا.
Hadits
ini adalah maudhu' karena bertentangan dengan seluruh ijma seluruh umat,
bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tidak menetapkan (menunjuk)
seseorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia.
Kedua,
dari segi lafadznya. Yaitu bila susunan kalimatnya
tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ialah susunan kalimat yang sederhana,
tetapi isinya berlebih-lebihan. Umpamanya berisikan pahala yang besar sekali
bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya :
مَنْ قَالَ لاَ اِلهَ
إِلاَ اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَاتِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ
لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
Kita
perhatikan juga hadits-hadits tentang puasa Rajab dalam kitab Qawai'idut Tahdits
oleh Muhammad Jamaluddin Al-Qasyimi yang dikutipnya dari kitab-kitab Imam
As-Suyuti. Misalnya: [5]
مَنْ صَامَ
ذَالِكَ الْيَوْمُ وَقَامَ تِلْكَ اللَّيْلَةُ كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ كَمَنْ
صَامَ مِائَةَ سَنَةً وَقَامَ مِائَةَ سَنَةً
D. Motivasi-motivasi
yang Mendorong Melakukan Pemalsuan Hadits.
1.
Membela suatu madzhab atau
mempertahankan ideologi.
Pergolakan politik yang terpecah
setelah munculnya fitnah (masa setelah terbunuhnya Utsman bin Affan) dan
maraknya aliran-aliran politik seperti Khawarij dan Syi'ah. Masing-masing aliran membuat
hadits-hadits palsu untuk memperkuat golongannya. Ini merupakan asal dari
kedustaan atas nama Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Imam Malik
ditanya tentang Rafidhah,[6]
beliau berkata:"Janganlah engkau bicara dengan mereka, jangan meriwayatkan
(hadits) dari mereka sesungguhnya mereka berdusta." Imam Asy-Syafi'i
menambahkan: "saya tidak melihat kaum yang lebih berani berdusta selain
kaum Rafidhah".
Misalnya hadits tentang keutamaan Siti Fathimah radhiyallahu
'anha. "Ketika Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam
diisrakan, Jibril datang memberikan buah Saparjalah (semacam apel) dari surga,
lalu di makannya. Kemudian Sayyidah Khadijah menghubungkan buah tersebut dengan
Fathimah. Karena itu bila Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam rindu
bau-bauan surga beliau lalu mencium Fathimah".
Nampak sekali ke-maudhu-an hadits ini. Bukankah Fathimah itu
dilahirkan sebelum terjadinya peristiwa Isra, sebagaimana halnya Khadijah telah
meninggal sebelum Isra.
2. Dalam rangka taqarrub kepada Allah,
Upaya ini mereka lakukan dengan meletakkan hadits-hadits targhib (yang
mendorong) manusia untuk berbuat kebaikan, atau hadits yang berisi ancaman
terhadap perbuatan munkar. Mereka yang membuat hadits-hadits maudhu'
ini biasanya menisbatkannya kepada golongan ahli zuhud dan
orang-orang shalih. Mereka ini termasuk kelompok pembuat hadits maudhu' yang
paling buruk, karena manusia menerima hadits-hadits maudhu' mereka disebabkan
kepercayaan terhadap mereka.
Diantara mereka adalah Maisarah
bin Abdi Rabbihi. Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari kitabnya Ad Dhu'afa',
dari Ibnu Mahdi, dia bertanya kepada Maisarah bin Abdi Rabbihi:"Dari mana
engkau mendatangkan hadits-hadits seperti, "Barangsiapa membaca ini maka
ia akan memperoleh itu? Ia menjawab:"Aku sengaja membuatnya untuk memberi
dorongan kepada manusia.". Padahal berdusta walau dengan niat yang baik
hukumnya tetap haram. [7]
Imam Nawawi berkata dalam
kitabnya al-Adzkar: “Ketahuilah! Sesungguhnya menurut madzhab Ahlussunnah bahwa dusta itu
ialah : mengabarkan tentang sesuatu yang berlainan/berbeda/menyalahi
keadaannya. Sama saja apakah engkau lakukan dengan sengaja atau karena
kebodohanmu (yakni tidak sengaja). Akan tetapi tidak berdosa kalau karena
kebodohan dan berdosa kalau dilakukan dengan sengaja.[8]
3. Upaya mendekatkan diri kepada penguasa demi menuruti
hawa nafsu.
Sebagian orang yang imannya lemah
berupaya mendekati sebagian penguasa dengan membuat hadits yang menisbatkan
kepada penguasa agar mendapat perhatian. Misalnya:
إِذَا
رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةً عَلىَ مِنْبَرِى فَاقْتُلُوْهُ
4. Zindiq yang ingin
merusak manusia dan agamanya.
Misalnya, Hamad bin Zaid berkata: "Orang-orang zindiq
membuat hadits dusta yang disandarkan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam sebanyak empat belas ribu hadits." Ahmad bin Shalih Al-Mishri
berkata:"(Hukuman bagi) orang zindiq adalah dipenggal lehernya,
orang-orang dungu itu telah membuat hadits maudhu' sebanyak empat ribu, maka
berhati-hatilah." Ketika akan dipenggal lehernya Ibnu Adi
berkata:"Aku telah memalsukan hadits di antara kalian sebanyak empat ribu
hadits, aku mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang
haram." Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa'id Asy-Syami yang
dihukum mati dan disalib karena kezindikannya. Ia meriwayatkan hadits dari
Humaid dari Anas secara Marfu': Aku adalah Nabi terakhir, dan tidak ada
Nabi sesudahku kecuali yang Allah kehendaki.
5. Mengikuti hawa
nafsu dan ahli ra'yu yang tidak mempunyai dalil dari kitab dan sunah kemudian
membuat hadits maudhu' untuk membenarkan hawa nafsu dan pendapatnya.
6. Dalam rangka mencari penghidupan dan memperoleh rizki.
Seperti yang dilakukan sebagian tukang dongeng yang mencari penghidupan melalui
berbagai cerita kepada masyarakat. Mereka menambah-nambahkan ceritanya
agar masyarakat mau mendengar dongengannya, lalu mereka memberi upah. Di antara
mereka adalah Abu Sa'id Al Madani.
7. Dalam rangka meraih
popularitas, yaitu dengan membuat hadits yang gharib (asing) yang tidak
dijumpai pada seorangpun dari syaikh-syaikh hadits. Mereka membolak balik sanad
hadits supaya orang yang mendengarnya terperangah. Di antara mereka adalah Ibnu
Abu Dihyah dan Hammad bin An Nashibi.
8. Fanatisme terhadap Imam, kebangsaan, kebahasaan.
Misalnya, Asy-Syu'ubiyun memalsu hadits yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ
إِذَا غَضَبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ وَإِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ
الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ
"Maka seorang Arab yang jahil
membaliknya, perkataan ini menjadi:
إِنَّ اللهَ
إِذَا غَضَبَ اَنْزَلَ الْوَحْىَ بِالْفَارِسِيَّةِ وَإِذَا رَضِىَ اَنْزَلَ
الْوَحْىَ بِالْعَرَبِيَّةِ
Misal yang lain seperti seorang
yang ta'ashub (fanatik) terhadap Abu Hanifah, memalsu hadits, yang berbunyi: "Akan
ada dari umatku seorang laki-laki yang disebut Abu Hanifah Al-Nu'man, dia
adalah penerang umatku."
Dan juga orang yang tidak senang
dengan Imam Asy-Syafi'i, membuat hadits yang berbunyi: "Akan ada dari umatku seorang laki-laki
yang disebut Muhammad bin Idris, dia lebih bahaya atas umatku dari pada
iblis."
E. Hukumnya
Orang yang berdusta atas nama
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam ancamannya sangat keras. Sebagaimana
Nabi bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنىِّ
(وفى رواية: مَنْ رَوَى عَنىِّ) بِحَدِيْثىِ يُرَا (وفى لفظ: يَرَا) أَنَّهُ كَذِبٌ
فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنَ (وفى لفظ: الكَاذِبَيْنِ)
“Barangsiapa yang menceritakan dariku (dalam riwayat yang
lain : meriwayatkan dariku) satu hadist yang ia sangka (dalam satu lafadz :
yang ia telah mengetahui) sesugguhnya hadits tersebut dusta/palsu, maka ia
termasuk salah seorang dari para pendusta (dalam satu lafadz : dua pendusta)”
Hadits ini derajatnya shahih dan
masyhur sebagaimana diterangkan oleh Imam Muslim di muqaddimah shahihnya [9].
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat, yaitu Samurah bin
Jundud, Mughirah bin Syu’bah, dan Ali bin Abi Thalib.
Memperhatikan Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam: yakni "Barangsiapa yang menceritakan/meriwayatkan
dariku satu/sesuatu hadits saja", yakni baik berupa perkataan, perbuatan
taqrir, atau apa saja yang disandarkan orang kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa
sallam, apakah menyangkut masalah-masalah hukum, aqidah, tafsir Qur’an,
targhib dan tarhib atau keutamaan-keutamaan amal (fadlaa-ilul a’mal),
tarikh/kisah-kisah dan lain-lain. (Yang ia menyangka/zhan) yakni sifatnya baru
“zhan” tidak meyakini (atau ia telah mengetahui) baik ia sebagai ahli
hadits atau diterangkan oleh ahli hadits (sesungguhnya hadits tersebut
dusta/palsu), kemudian ia meriwayatkannya dengan tidak memberikan penjelasan
akan kepalsuannya, (maka ia termasuk salah seorang dari pendusta/salah seorang
dari dua pendusta) yakni yang membuat hadits palsu dan ia sendiri yang menyebarkannya.
[10]
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam
syarahnya atas hadits ini di kitabnya “Adl-Dlu’afaa” (1/7-8) : “Di dalam kabar
(hadits) ini ada dalil tentang sahnya apa yang telah kami terangkan, bahwa
orang yang menceritakan hadits apabila ia meriwayatkan apa-apa yang tidak sah
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apa saja yang diadakan orang
atas (nama) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia
mengetahuinya, niscaya ia termasuk salah seorang dari pendusta”.
Bahkan zhahirnya kabar (hadits)
lebih keras lagi, yang demikian karena beliau telah bersabda: “Barangsiapa yang
meriwayatkan dariku satu hadits padahal ia telah menyangka (zhan) bahwa hadits
tersebut dusta”. Beliau tidak mengatakan bahwa ia telah yakin hadits itu dusta
(yakni baru semata-mata zhan saja). Maka setiap orang yang ragu-ragu tentang
apa-apa yang ia marfu’kan (sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam), shahih atau tidak shahih, masuk ke dalam pembicaraan zhahirnya
kabar (hadits) ini”.
Oleh karenanya kita dapat
mengambil pelajaran dari penjelasan tadi bahwa hadits ini mengandung beberapa
hukum dan faedah yang sangat penting diketahui :
1.
Berdasarkan hadits shahih di atas para kita telah ijma’
tentang haramnya -termasuk dosa besar- meriwayatkan hadits-hadits maudlu’
apabila ia mengetahuinya tanpa disertai dengan bayan/penjelasan tentang
kepalsuannya. Ijma Ulama di atas menjadi hujjah atas kesesatan siapa saja yang
menyalahinya. (Syarah Nukhbatul Fikr (hal : 84-85). Al-Qaulul Badi’
fish-shalati ‘Alal Habibisy Syafi’ (hal. 259 di akhir kitab oleh Imam
As-Sakhawi). Ikhtisar Ibnu Katsir dengan syarah Syaikh Ahmad Syakir (hal
: 78 & 81) Qawaa’idut Tahdist (hal : 150 oleh Imam Al-Qaasimiy). [11]
2.
Demikian juga orang yang meriwayatkan hadits yang ia
sangka (zhan) saja hadits itu palsu atau ia ragu-ragu tentang kepalsuannya atau
shahih dan tidaknya, maka menurut zhahir hadits dan fiqih Imam Ibnu Hibban (dan
Ulama-ulama lain) orang tersebut salah satu dari pendusta. Menurut Imam
Ath-Thahawiy di antara syarahnya terhadap hadits di atas di kitabnya “Musykilul
Atsar” (1/176): “Barangsiapa yang menceritakan (hadits) dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan dasar dzan (sangkaan), berarti ia telah
menceritakan (hadits) dari beliau dengan tanpa haq, dan orang yang
menceritakan (hadits) dari beliau dengan cara yang batil, niscaya ia menjadi
salah seorang pendusta yang masuk kedalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas (nama)ku, hendaklah ia
mengambil tempat tinggalnya di neraka”.
3.
Bahwa orang yang menceritakan kabar dusta, termasuk salah
satu dari pendusta, meskipun bukan ia yang membuat kabar dusta tersebut (Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjadikan orang tersebut bersekutu dalam
kebohongan karena ia meriwayatkan dan menyebarkannya.
4.
Menunjukkan bahwa tidak ada hujjah kecuali dari
hadits-hadits yang telah tsabit (shahih atau hasan) dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
5.
Wajib menjelaskan hadits-hadist maudlu’/palsu dan membuka
aurat (kelemahan) rawi-rawi pendusta dan dla’if dalam membela dan membersihakn
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja pekerjaan yang
berat ini wajib dipikul oleh ulama-ulama ahli hadits sebagai Tha-aifah
Mansurah.
6.
Demikian juga ada kewajiban bagi mereka (ahli hadits)
mengadakan penelitian dan pemeriksaan riwayat-riwayat dan mendudukan derajat-derajat
hadits mana yang sah dan tidak.
7.
Menunjukkan juga bahwa tidak boleh menceritakan hadits
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali orang yang tsiqah
dan ahli dalam urusan hadits.
8.
Menunujukan juga bahwa meriwayatkan hadits atau
menyandarkan sesuatu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukanlah
perkara yang “ringan”, tetapi sesuatu yang “sangat berat” sebagaimana telah
dikatakan oleh seorang sahabat besar yaitu Zaid bin Arqam [Berkata Abdurrahman
bin Abi Laila : Kami berkata kepada Zaid bin Arqam: "Ceritakanlah kepada
kami (hadits-hadits) dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam !.
Beliau menjawab: Kami telah tua dan (banyak) lupa, sedangkan menceritakan
hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangatlah berat
". (shahih riwayat Ibnu Majah, maktabah Syamilah No. 25).
Oleh karena itu wajiblah bagi kita
merasa takut kalau-kalau ia termasuk salah seorang pendusta atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hendaklah mereka
berhati-hati dalam urusan meriwayatkan hadits dan tidak membawakannya kecuali
yang telah tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menurut pemeriksaan ahli hadits.
Tentunya pada zaman kita sekarang
ini tidak ada lagi orang yang memalsukan hadits, walaupun hal itu bukanlah hal
yang tidak mungkin, tetapi tidak sedikit bahkan banyak sekali saudara-saudara
kita yang membawakan hadits-hadits yang batil dan palsu. Tersebarlah hadits
palsu itu melalui mimbar para khatib, majelis-majelis ilmu dan tulisan di
kitab-kitab dan majalah-majalah yang tidak sedikit membawa kerusakan bagi kaum
muslimin.
F. Kesimpulan
1.
Meriwayatkan hadits maudhu' dengan sengaja tanpa memberi
tahu kemaudhu'annya atau sengaja mengamalkan hadits maudhu' termasuk dosa
besar.
2.
Setiap pengguna hadits, wajib hati-hati agar tidak
meriwayatkan atau mengamalkan hadits maudhu' dengan sengaja. Hal itu karena
pembuat hadits maudhu' telah melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, merusak kesucian syari'ah, menipu orang lain dan menyesatkan
manusia.
G. Maraji'
1. Dr. Muhammad Najib,
Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu', Pustaka Setia
Bandung, 2001.
2. Drs. Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT. Al-Ma'arif Bandung, 1970
3. Prof. T.M. Hasbi
Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqalani (wafat th. 852), Fath-hul Baari
Syarah Shahih Al-Bukhari, penerbit Daarul Fikr Beirut.
5. Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimsyiqi, Riyadhus
Shalihin, Penerbit Jam'iyyah At-Turast Al-Islami, Kuwait.
6. Abdul Hakim bin
Amir Abdat, Taisir Mushalahul Hadits
7. Software Maktabah
Syamilah, Al-Ishdar Ast-Tsani.
TELAAH HADITS MAUDHU'
A.
Kutipan Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Madarijushshu'ud
yang menjelaskan
tentang perayaan maulid nabi shalallahu 'alaihi wasallam
Imam
Nawawi Al-Bantani, mengutip hadist, atsar tentang perayaan Maulid Nabi shalallahu
'alaihi wasallam yang kemudiab hadits atau atsar ini beliau cantumkan dalam
kitabnya yang berjudul Madaarijussu’uud halaman 15-16, tetapi sama
sekali tidak menyebutkan perawinya. Katanya :
قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: من عظّم مولدى كنت شفيعا له يوم القيامة ومن أنفق درهما فى مولدى
فكأنما أنفق جبلا من ذهب فى سبيل الله
“Barangsiapa yang mengagungkan kelahiranku, maka nanti di
hari kiamat akan mendapatkan syafa’at dariku.” “Barangsiapa yang menginfakan
dirham untuk keperluan merayakan kelahiranku, maka seolah-olah telah
menafkahkan emas sebesar gunung untuk kepentingan agama Allah Ta’ala.
عن أبي بكر
الصديق: من أنفق درهما فى مولد النبي صلى الله عليه وسلم كان رفيقي فى الجنة.
“Barangsiapa
yang menafkahkan harta untuk keperluan maulid Nabi Muhammad shalallahu
'alaihi wasallam maka akan menjadi temanku nanti di surga.”
عن عمر ابن
الخطاب رضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أحيا الإسلام
“Barangsiapa yang memuliakan kelahiaran Nabi shalallahu
'alaihi wasallam maka benar-benar ia telah menghidupkan agama Islam.”
عن عثمان ابن
عفان رضي الله عنه: من أنفق درهما على قراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم فكأنما
شهد يوم وقعة بدر وحنين.
“Barangsiapa yang menafkahkan harta untuk perayaan maulid
Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam maka seolah-olah ia syahid di
perang badar dan khunain.”
عن علي ابن أبي
طالب كرم الله واجهه ورضي الله عنه: من عظم مولد النبي صلى الله عليه وسلم لا يخرج
من الدنيا الا بالإيمان
“Barangsiapa yang mengagungkan Maulid Nabi shalallahu
'alaihi wasallam maka ia tidak akan keluar dunia, kecuali membawa iman
kepada Allah Subhanahu wata'alaa.
من جمع لمولد
النبي صلى الله عليه وسلم اخوانا وهيأ لهم طعاما وعمل احسانا بعثه الله يوم
القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين.
Artinya: “Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk
melaksanakan perayaan Maulid Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. karena
kecintaan (ikhwanan) secara berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku
baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada
dan para shalihin. kemudian mereka berada di dalam Jannatun Nai’iim.
7. Menurut Imam Sari
Asaqathi rahimahullah
من قصد موضعا
يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد أعطى روضة فى الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع الا
لمحبته صلى الله عليه وسلم وقد قال صلى الله عليه وسلم من أحبنى كان معي فى
الجنة
“Barangsiapa
yang sengaja mendatangi suatu tempat di mana di dalamnya dibacakan maulid Nabi shalallahu
'alaihi wasallam, maka sungguh ia akan dikarunia raudlatul jannah
(kebun syurga). Sebab ia memiliki kecintaan kepada Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam. Karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa yang mencintai aku, niscaya ia akan berada bersamaku di surga.”
B. Kutipan Muhammad
Jamaluddin Al-Qasyimy dalam kitab Qawai'idut Tahdits tentang hadits-hadits
puasa Rajab yang dikutipnya dari kitab-kitab Imam As-Suyuti.
فى رجب بوم وليلة. من صام ذالك اليوم
وقام تلك الليلة كان له من الأجر كمن صام مائة سنة وقام مائة سنة, وهى لثلاث بقين
من رجب فى ذالك اليوم بعث الله محمد نبيا. (موضوع قاله السيوطى فى النكت البديعة)
من صام يوما فى رجب وقام ليلة من لياله
بعث الله امنا يوم القيامة ومر على الصراط المستقيم وهو يهلل او يكبر. (موضوع وفى
إسناده اسماعيل بن يحي كذاب)
من احيا ليلة من رحب وصام يوما منه
اطعمه الله من ثمار الجنة وكساه من حلل الجتة وسقاه من الرحيق المختوم. (موضوع وفى
إسناده حصين بن محارق وكان يضع الحديث قاله السيوطى فى الألي المصنوعة)
من صام من رجب يوما تطوعا اطفأ صومه
ذالك اليوم غضب الله واغلق عنه أبواب النار. (موضوع, ذكره السيوطى وقال: ظلمات
بعصها فوق بعض
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh HR. Bukhari
1/186, Muslim juz 1/12, Abu Daud 10/61, At-Tirmidzi 9/262, Ibnu Majah 1/125,
Ahmad, 2/57
[3] Al-Maudhuu’aat oleh Ibnul Jauzi (I/246-247),
Mizaanul I’tidal III/549), Lisaanul Mizan (V/168), al-Fawaa-idul Majmu’ah fii
Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 268 no. 944).
[4] Dr. Muhammad Najib, Pergolakan Politik Umat
Islam dalam Kemunculan Hadits Maudhu', Pustaka Setia Bandung, 2001, hal. 70
[6] Rafidhah
adalah sekelompok penganut Syi'ah yang memandang 'Ali dan anak cucunya lebih
utama daripada Abu Bakar dan 'Umar. Mereka tidak menyukai kedua sahabat Nabi
yang khalifah itu, bahkan mencaci-makinya. Kaum Rafidhah mempercayai,
para imam itu ma'shum alias bebas-salah. Mereka memberikan segala kehormatan
Nabi (selain kenabian) kepada para imam. Mereka juga mempercayai kedatangan
kembali imam Muntadhar (imam tertunggu) yang sementara ini menghilang, tanpa
meninggal. Lihat Muqaddimah Fathul Bari Ibnu Hajar Al-Asqalani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar