Fiqh Qurban
A. Muqaddimah
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
ﮊ ﮋ
ﮌ ﮍ
Maka shalatlah untuk Rabbmu
dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2).
Syaikh Abdullah Alu Bassaam
mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan
menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat
ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul
Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam
istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah
yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
B. Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan
ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al
Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
C. Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk
amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan
sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan
oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di
atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa
menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah
yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari
pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah
mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih
menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh
Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521)
D. Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama
terbagi dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama, wajib bagi orang yang
berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah (guru Imam
Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits
bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin
mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi
yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’, III/408) Diantara dalilnya adalah
hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ
بُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa
yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan
oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat Kedua menyatakan Sunnah
Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik,
Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini
berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal
aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir
kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur
Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Demikian pula dikatakan
oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua
tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu
Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan
bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas
merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan
semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama
memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya
bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban
akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.” (Tafsir
Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang
berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan.
Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a:
“Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).”
(HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
E. Hewan yang Boleh Digunakan
Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh
dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta,
sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali
dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al
Wajiz 406)
Dalilnya adalah firman
Allah yang artinya,
ﭾ ﭿ
ﮀ ﮁ ﮂ
ﮃ ﮄ ﮅ
ﮆ ﮇ ﮈ
ﮉ ﮊ
“Dan bagi setiap umat
Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki
yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis
hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya
tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga
10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya
(dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’, III/409)
F. Seekor Kambing Untuk Satu
Keluarga
Seekor kambing cukup untuk
qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya
banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan
keluarganya.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul
Muslim, 264 dan 266).
Oleh karena itu, tidak
selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya
tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B,
karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya.
Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih
beliau mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang
tidak berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh
Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu
berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing
hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…”
adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang,
biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang
yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan,
maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan
di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih
dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam
transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi
sedekah.
G. Ketentuan Untuk Sapi &
Onta
Seekor Sapi dijadikan
qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu
beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun
berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi
kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu Majah
2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala,
ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7
orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga
dari 7 orang yang ikut urunan.
H. Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam
rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat
arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun
harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibn
Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj : 36)(*) Demikian pula Imam
Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki
biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari
ketujuh setelah kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah
mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau
ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab: “Saya
mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada
unta-unta qurban tersebut) (QS: Al Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain
menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di
antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah
pengawasan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 &
28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka
selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul
Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak
jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit
hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan antara
berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang,
lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat
dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan
ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh
perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang
menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang yang
keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh temponya
masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang
dari pada qurban dipahami untuk kasus orang yang kesulitan melunasi hutang atau
hutang yang menuntut segera dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita
golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah
dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu
a’lam.
I. Qurban Kerbau?
Para ulama’ menyamakan kerbau
dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah
Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada
beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari
kalangan Syafi’iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah
(lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106).
Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin
pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan:
“Kerbau dan sapi memiliki
perbedaan dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah
telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan
kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143. Apakah boleh berqurban
dengan kerbau?”
Beliau menjawab:
“Jika hakekat kerbau
termasuk sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan)
yang Allah sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab,
sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’ Babil Maftuh
200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn
Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa
qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu
a’lam.
J. Urunan Qurban Satu
Sekolahan
Terdapat satu tradisi di
lembaga pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan
menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani
iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan
disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah
qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban
adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana
yang digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai
sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut
adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya pengadaan untuk
seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat
dinilai sebagai qurban.
K. Berqurban
Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi
tiga bentuk:
-
Orang yang meninggal
bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya
yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya
sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini
dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada
yang sudah meninggal.
-
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal
tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini
sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana
sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 &
1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai
satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama
Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam.
-
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena
mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia
meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam
rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’
yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51.
L. Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir
meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih).
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
No.
|
Hewan
|
Umur minimal
|
1.
|
Onta
|
5
tahun
|
2.
|
Sapi
|
2
tahun
|
3.
|
Kambing
jawa
|
1
tahun
|
4.
|
Domba/
kambing gembel
|
6
bulan
(domba Jadza’ah) |
(lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam,
IV/461)
M. Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi
menjadi 3:
1. Cacat yang
menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
-
Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika
butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada
hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh
diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah
menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk
hewan yang buta sebelah matanya.
-
Sakit dan tampak sekali sakitnya.
-
Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya
pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang
namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
-
Sangat tua
sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas
maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih
Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’ 3/294).
2. Cacat yang
menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
-
Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
-
Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, II/373)
Cacat yang tidak
berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang
sempurna.
Selain 6 jenis cacat di
atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada
status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting,
atau tidak berhidung. Wallahu a’lam. (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/373)
(**) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari
ketika berqurban. Beliau menjawab: “Ada
empat cacat… dan beliau berisyarat dengan tangannya.” (HR. Ahmad 4/300
& Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama
menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan
termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai
qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang
menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga
terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian ulama
menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk
qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
N. Hewan yang Disukai dan
Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang
diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala,
ﭨ ﭩ
ﭪ ﭫ ﭬ
ﭭ ﭮ ﭯ
ﭰ ﭱ
“…barangsiapa yang
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari
ketakwaan hati.”
(QS. Al Hajj: 32).
Berdasarkan ayat ini Imam
Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan
untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl
mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam
berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban
dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara
tegas dan dimaushulkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya
hasan)
Diantara ketiga jenis hewan
qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan
onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing
ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih
mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari dan
Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
O. Manakah yang Lebih Baik,
Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing?
Sebagian ulama menjelaskan
qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena
tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih
Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul
Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
1. Qurban yang
sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu
ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
2. Kegiatan
menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan
qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan
oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al
Muhadzab 1/74)
3. Terdapat
sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti
Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453).
Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang
dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
P. Apakah Harus Jantan?
Tidak ada ketentuan jenis
kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu
‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah
untuk anal laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi
masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan
dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi As
Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah
berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.”
(Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan
itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu,
tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Q. Larangan Bagi yang Hendak
Berqurban
Orang yang hendak berqurban
dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban
bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari
pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah
dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim).
Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian manapun, mencakup
larangan mencukur gundul atau sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik
rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/376).
Apakah larangan ini hanya
berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga
shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku
untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota
keluarganya. Karena 2 alasan:
-
Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya
berlaku untuk yang mau berqurban.
-
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering
berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat
bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun
rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
R. Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban
adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk
menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu
siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun
menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih
baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33).
Para ulama sepakat bahwa
penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari
Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk
dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat
itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.”
(HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
S. Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan
untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan.
Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya
di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah
boleh dilakukan dan mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR.
Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk
menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri
ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
T. Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul
qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada
orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini
berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih
Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan
beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
P. Tata Cara Penyembelihan
1. Sebaiknya
pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
2. Apabila
pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang
menyaksikan penyembelihannya.
3. Hendaknya
memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
4. Hewan yang
disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat.
Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
5. Ketika akan
menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika
menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan
Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan
menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar
– para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah
sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
-
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
-
hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan
(disebutkan nama shahibul qurban).” atau
-
Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma
taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata
Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a
khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu
a’lam.
W. Bolehkah Mengucapkan
Shalawat Ketika Menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan
shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
1. Tidak
terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan
shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan
bid’ah.
2. Bisa jadi
orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga
sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
X. Pemanfaatan Hasil
Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban
dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
1.
Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian
ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat
yang benar.
2. Disedekahkan
kepada orang yang membutuhkan
3. Dihadiahkan
kepada orang yang kaya
4. Disimpan
untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika
tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’
dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari
ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.”
Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai
Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka
beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan
kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat
sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian
membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut mayoritas
ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan
wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378) Oleh sebab itu, boleh
mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk
tidak menghadiahkannya (kepada orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul
Muslim, 266). (artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang
miskin, ed.)
Y. Bolehkah Memberikan Daging
Qurban Kepada Orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah
berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana
kata Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku
sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban
kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan
makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no.
29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul
Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir
dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.”
(Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis
Ulama’ saudi Arabia)
ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi
daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai
orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati
mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir
Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan
melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal
ini berdasarkan keumuman firman Allah:
“Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr
radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya
masih musyrik.”
(Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan
bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban
sama dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun
hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat
yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang mengikat
perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah
orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir
Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: Orang
kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Z. Larangan Memperjual-Belikan
Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan
memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek,
bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga
memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya.
Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang
jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam
masalah ini, sebagaimana hadis berikut, Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barang siapa yang menjual
kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 &
Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik
hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam
Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan
jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
1. Termasuk
memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan
daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat
jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
2. Transaksi
jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak
sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan
pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana
perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban)
disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual
beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim
(baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
3. Bagi orang
yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik
dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya.
Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan
(disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
AA. Larangan Mengupah Jagal
Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian
dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana.
Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR.
Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami
mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Danini merupakan
pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam
mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai
bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang
diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk
orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…..” (Taudhihul
Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang
mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.”
Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah
jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban
dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri
As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang
memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya
sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak
diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah
kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
AB. Menyembelih Satu Kambing
Untuk Makan-Makan Panitia? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus?
Status panitia maupun jagal
dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan
bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban
tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari
jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan
ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp
1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi
untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport
dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang
ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua
orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di
atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya
sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban
sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing
untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa
dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
(*****) Sebagian orang
menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan
mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka
beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil
zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil zakat tidaklah
sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus
memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil
dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu
dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada
riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
AC. Nasehat & Solusi Untuk
Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang
menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari
‘fiqh praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita akui
ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan
mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan???
Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah
diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk
keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah
untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’
lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat
sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang
yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis
beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan
merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah
mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya
100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu
‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah
berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka
(baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan
beberapa solusi berikut:
1. Kumpulkan
semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin
sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup
hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah
menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah
sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari
shohibul qurban dalam menjual kulit.
2. Serahkan
semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan
atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan
bagian hewan qurban kepada yayasan).
AD. Mengirim sejumlah uang
untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan)
dan disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain
untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat
menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang
miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian
syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan
qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak
ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban
yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian
ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai
jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak
mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di
daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa
Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah,
II/380
Kesimpulannya, berqurban
dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk
qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena tiga hal:
·
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
·
Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri
oleh shohibul qurban
·
Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari
hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang
ingin membaca penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata
Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam
Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah,
penerbit Media Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk
tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi
amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi
Rabbil ‘aalamiin.
Keutamaan
Tanggal 1 Sampai 10 Dzul Hijjah
Dari Ibn Abbas radhiallahu
‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح
فيها أحبّ إلى اللّه
من هذه الأيّام – يعني أيّام العشر – قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد
في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak ada satu amal
sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan
selama 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah.” Para
sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak pula jihad, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan
Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut,
ulama’ sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah.
Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al
Mundziri dalam At Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn
Abbas) ketika memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh
dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
AF. Bagaimana dengan Puasa Hari
Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus?
Terdapat hadis yang
menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala
puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al
Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak
perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya
dhaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadis shahih di atas
maka diperbolehkan. (disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh
Hissamuddin ‘Affaanah). Wallaahu a’lam.
Artikel ini merupakan
tulisan yang melengkapi artikel tentang Fiqh Qurban yang ditulis Al Akh
Al Fadhil Abu Mushlih Ari Wahyudi.
Sumber: Muslim or.id
Selengkapnya...
Sumber: Muslim or.id