Minggu, 01 Juni 2014

Prof. Din Syamsudin Ajak Umat Islam Bantu RS Indonesia di Gaza


Di tengah derita memilukan yang dialami bangsa Palestina, MUI mensyukuri peran bangsa Indonesia yang bisa membangun rumah sakit di Gaza Palestina, meskipun sampai saat ini rumah sakit tersebut harus dilengkapi peralatan medis untuk menunjang operasionalnya.

“Saya pribadi memberikan apresiasi pada Mer-C, meskipun rumah sakit ini baru selesai bangunan fisik, belum fisiknya, saya menghimbau pada umat Islam agar mengumpulkan dana lagi untuk membangun rumah sakit Indonesia di Gaza,” kata Ketum MUI Prof. Dr. Din Syamsuddin di Kantor MUI di Jakarta, Selasa (20/5/2014).
 
Menurutnya apa yang terjadi di Palestina adalah tragedi kemanusiaan yang menuntut uluran tangan kita untuk memberikan bantuan, katanya, banyak istri yang kehilangan suami, anak dan ayah, banyak anak yang tidak bersekolah dan tak terjamin kesehatannya, syukur Alhamdulillah Mer-C dari Indonesia dapat mendirikan rumah sakit Indonesia di Gaza Palestina.
 
“MUI menghimbau kepada seluruh bangsa Indonesia khususnya umat Islam untuk terus menerus mengulurkan tangan kedermawanan untuk memberikan bantuan apapun, termasuk untuk mengisi Rumah Sakit Indonesia yang telah berdiri di Gaza sana yang belum memiliki alat kesehatan dan sara pra-sarana lainnya,” kata Din.

Sementara itu, Kepala Divisi Penggalangan Dana MER-C, Luly Larissa Agiel, mengatakan, pengadaan alkes memerlukan anggaran sekitar Rp 65 milyar. Menurutnya, Pembangunan RS Indonesia di Gaza, yang mulai dikerjakan sejak 14 Mei 2011, dibangun oleh MER-C dengan para relawan dari Indonesia, dan dukungan donatur rakyat Indonesia.

Ia menambahkan, RS ini memiliki tipe Trauma Center & Rehabilitation, dengan kapasitas 100 tempat tidur, serta bangunan 2 lantai dan 1 lantai basement. Bangunan atap RS ini didesain berbentuk segi delapan, seperti kubah Masjid Al-Aqsha. “Ini diharapkan menjadi karya anak bangsa dan menjadi bukti silaturahim jangka panjang antara rakyat Indonesia dan rakyat Palestina,” ujarnya.

Apalagi, katanya, seluruh donasi berasal dari masyarakat Indonesia. Bahkan, sebagian besar berasal dari kantong-kantong kalangan menengah ke bawah, dari Sabang hingga Merauke.
     
Untuk itu, bagi masyarakat yang berniat memberikan bantuan donasi untuk Alat Kesehatan RS INDONESIA di Gaza Palestina dapat disalurkan melalui:BNI Syariah, No. Rek. 08.111.929.73 /BCA, No. Rek. 686.0153.678/ BRI, No. Rek. 033.501.0007.60308/ BSM, No. Rek. 700.1352.061/ BMI, No. Rek. 301.00521.15


Selengkapnya...

Ramadhan Beda, MUI Ingin Dekatkan Perbedaan Metode


Oleh: M. Faridu Ashrih
Perbedaan awal Ramadhan diperkirakan akan kembali terjadi pada 2014/1435, meski demikian sejumlah upaya untuk mendekatkan metodologi penentuan kalender hijriah lintas Ormas Islam terus diupayakan oleh MUI.
“Kita menyadari , (langkah) ini bukan kerjaan mudah, karena menyangkut masalah keyakinan yang dipegang oleh setiap ormas dan sudah lama menancap di masing-masing ormas,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa KH. Shalahuddin al-Ayyubi MA, Selasa (27/5). Meski demikian, MUI tetap ingin menggulirkan niat baik untuk menyatukan kalender hijriah agar umat bersatu.
Menurutnya, selama ini upaya untuk semakin mendekatkan di antara metode penanggalan yang berbeda terkait penetapan awal bulan sudah dilakukan Kemenag. Salah satu upayanya adalah dengan dengan metode “imkanurru’yah”.
Kalau di NU, katanya, sebelumnya menggunakan ‘ru’yah bil fi’li’, berapapun hilalnya, kalau sudah bisa dirukyah, besoknya sudah bisa ditetapkan sebagai tanggal satu. Kemudian ada problem yang berkembang ketika ada mengaku melihat hilal padahal secara hisab, hilal tidak mungkin untuk dirukyah.
Dalam kaidah Fiqh tinggi hilal juga masuk kriteria, sehingga pengakuan melihat hilal ketika tidak masuk dalam kriteria akli tidak bisa diterima. “Bisa jadi yang dilihat itu bukan fokus hilal, sepertinya dengan sikap itu, NU sudah mulai menggunakan konsep ‘ru’yah bil fi’li’,” tuturnya.
Begitu juga dengan kasus tahun 2012, saat itu terjadi perbedaan awal bulan, “Hilal belum imkan dan belum pada titik dua derajat, namun Ulama Cakung mengklaim melihat, itulah mengapa pengakuan itu kemudian ditolak karena posisi hilal tidak imkan ru’yah.
“Secara faktual NU sudah bergeser, kemudian di Muhammadiyah sendiri sudah bergeser juga, yang sudah mulai mengambil pendapat wilayatul hukmi,” katanya. Sebenarnya konsep itu adalah kesatuan matla.’ Yaitu sebuah konsep yang biasa digunakan dalam metode rukyah. Konsep itu terpaksa dilakukan karena dengan cara hisab yang digunakan Muhammadiyah akan terjadi perbedaan dari satu wilayah dan wilayah lainnya di Indonesia. “Di daerah Barat, secara hisab sudah ‘wujudul hilal’, tapi di daerah Timur belum wujud, cuman kalau ditetapkan dua hari lebaran dalam satu organisasi akan aneh, maka digunakanlah konsep ‘wilayatul hukmi.’ Ketika sudah masuk ‘wujudul hilal’ sudah bisa ditetapkan awal hilal.
Di Persis juga sudah memakai ‘imkanurru’yah’ murni, mereka memakai metode hisab tapi dengan menggunakan pendekatan ‘imkanurru’yah.’
Secara organisasi, selama ini MUI menyerahkan masalah penetapan tanggal ke Kemenag (pemerintah), karena memang di Fatwa MUI menyebutkan, untuk saat ini, jalan terbaik untuk menyatukan atau meminimalkan perbedaan adalah dengan mengikuti putusan pemerintah.
Sebelumnya, Ketua Lapan mengunjungi MUI untuk silaturahim dan mengingatkan bahwa dalam Fatwa MUI tahun 2004 soal penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawwal terdapat rekomendasi, diantaranya MUI akan menghimpun ormas-ormas Islam dalam hal mencari kriteria titik temu antara berbagai metode dalam penetapan. Diakuinya, memang dari tahun itu, masih belum ada tindakan nyata.
Dengan dukungan semua pihak untuk mendekatkan metodologi yang berbeda, MUI dan Lapan sepakat membentuk tim kecil baik, MUI, Lapan dan Kemenag. “Jadi tim ini yang menginventarisir dan memfasilitasi sampai dengan munculnya draft yang terkait dengan kriteria itu,” pungkasnya.

Sumber : Situs Resmi MUI Pusat Selengkapnya...

Selasa, 27 Maret 2012

Sejarah LP POM MUI


Masalah halal dan haram bagi umat Islam adalah sesuatu yang sangat penting, yang menjadi bagian dari keimanan dan ketaqwaan. Perintah untuk mengkonsumsi yang halal dan larangan menggunakan yang haram sangat jelas dalam tuntunan agama Islam. Oleh karena itu tuntutan terhadap produk halal juga semakin gencar disuarakan konsumen muslim, baik di Indonesia maupun di Negara-negara lain.
Dalam sejarah perkembangan kehalalan di Indonesia, ada beberapa kasus yang berkaitan dengan masalah tersebut. Misalnya kasus lemak babi pada tahun 1988. Isu yang berawal dari kajian Dr Ir Tri Susanto dari Universitas Brawijaya Malang ini kemudian berkembang menjadi isu nasional yang berdampak kepada perekonomian nasional.
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka Majelis Ulama Indonesia mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal sebagai LP POM MUI. Lembaga ini didirikan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan, obat dan kosmetika.
LP POM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 dan telah memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Pada awal-awal tahun kelahirannya, LP POM MUI berulang kali mengadakan seminar, diskusi–diskusi dengan para pakar, termasuk pakar ilmu Syari’ah, dan kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding serta muzakarah. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama. Pada awal tahun 1994, barulah LP POM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertama yang sangat didambakan oleh konsumen maupun produsen, dan sekarang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Dalam perjalanannya LPPOM MUI telah mengalami 3 periode kepengurusan. Periode pertama dipimpin oleh Dr Ir M Amin Aziz yang memegang tampuk kepemimpinan LPPOM MUI sejak berdiri tahun 1989 hingga tahun 1993. Periode kedua adalah kepengurusan di bawah pimpinan Prof Dr Aisjah Girindra, yang memegang amanah dari tahun 1993 hingga tahun 2006. Periode kepengurusan 2006-2011 dipegang olah Dr Ir HM Nadratuzzaman Hosen.

Visi dan Misi
Visi
Menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan Dunia untuk memberikan ketenteraman bagi umat Islam dan menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara nasional dan internasional
Misi
1. Membuat dan mengembangkan standar system pemeriksaan halal.
2. Melakukan sertifikasi halal untuk produk-produk halal yang beredar dan dikonsumsi masyarakat.
3. Mendidik dan menyadarkan masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal.
4. Memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai kehalalan produk dari berbagai aspek.

Info lebih lanjut, silahkan Klik ! Selengkapnya...

Profil MUI


Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.
Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Demikianlah sekilas tentang Majelis Ulama Indonesia
Sumber lebih lanjut, Klik !
Selengkapnya...

Kamis, 29 Desember 2011

MUI: Negara Harus Lindungi Karyawan Muslim Agar Tak Dipaksa Berbusana Natal

JAKARTA (voa-islam.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) prihatin dengan marakanya pegawai atau karyawan muslim yang mengenakan atribut natal di berbagai perusahaan, ritail di mal-mal hingga toko-toko.

“Sebenarnya sudah ada fatwa MUI, di zaman Buya HAMKA itu telah dikeluarkan fatwa MUI bahwa natalan bersama itu haram, kalau kemudian kita sendiri menggunakan atribut-atribut natalan berarti kita bukan hanya ikut tapi mendukung, apalagi berhari-hari sebelum tanggal 25 sudah pakai,” kata Kyai Cholil, sapaan akrabnya, kepada voa-islam.com Senin (19/12/2011).

Ulama asli Betawi itu juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mengawal fatwa MUI dan tidak melindungi ‘aqidah umat sehingga membiarkan umat Islam melawan arus kristenisasi.
“Dari situ memang teruji iman seseorang, bahwa ia harus bekerja apalagi kalau tidak pakai atribut natal dipecat. Inilah karena tidak ada proteksi dari pemerintah, pemerintah kan mestinya memproteksi fatwa MUI supaya jalan kemudian memelihara akidah umat seperti di Malaysia. Beda dengan Indonesia, di Malaysia itu Islam menjadi agama negara sehingga diproteksi baik Islamnya maupun umatnya. Nah kita di Indonesia ini tidak (diproteksi oleh negara, red), umat dibiarkan saja untuk berhadapan dengan arus kristenisasi,” jelasnya.

Kelemahan dari pemerintah dan ketidakpedulian ulama untuk melindungi aqidah umat, lanjut Kyai Cholil, membuat fatwa haram mengikuti natal bersama yang pernah difatwakan MUI hanya menjadi fosil.
“Walaupun natalan itu budaya, tapi itu kan kristenisasi juga kalau kita ikuti kita akan terpengaruh. Ini saya pikir kelemahan pemerintah dan ulama-ulama juga membiarkan. Fatwa haramnya natal bersama itu kan sekarang tidak ada suaranya lagi. Fatwa itu jadi fosil di museum yang tidak efektif lagi digunakan,” ungkapnya.

Pengasuh Ponpes Al-Husnayain ini mengisahkan betapa besarnya pengorbanan Buya HAMKA untuk mempertahankan fatwa haramnya mengikuti natal bersama itu. Dengan berani, Buya HAMKA rela mengorbankan jabatannya sebagai ketua umum MUI daripada harus mencabut fatwa itu. Berkat keteguhan Buya itulah, fatwa haramnya mengikuti natal bersama masih berlaku hingga saat ini.

“Kalau saya sudah sendiri sudah ngomong di mana-mana kalau natalan itu haram, sampai saya bilang Buya HAMKA itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum MUI karena disuruh mencabut fatwa itu dan sampai sekarang fatwa itu tidak pernah dicabut. Artinya fatwa itu masih berlaku  bahwa  haram ikut natalan bersama apalagi dia aktif sebagai orang yang menggunakan atribut Sinterklas,” ujarnya.
Kyai Cholil menegaskan, dasar hukum haramnya natalan bagi umat Islam adalah larangan dalam hadits shahih. Rasulullah SAW bersabda: ”Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban). 

Umat Butuh Undang-undang Larangan Natal Bersama
Untuk mengatasi kasus natalan, agar umat Islam tidak dipaksa oleh atasan untuk memakai busana natal pada saat jam kerja, Kyai Cholil mengimbau agar pemerintah menerbitkan undang-undang yang melarang umat Islam merayakan Natal bersama. Selain itu, umat Islam harus kompak untuk menolak natalan bersama.

“Mestinya kalau mau hidup rukun beragama dengan pemeluk Islam pegawai dia yang Islam itu tidak perlu menggunakan atribut natal. Pemerintah juga mestinya membuat aturan, Perda atau apa pun bahwa perusahaan yang memiliki pegawai yang muslim dan bukan beragam Kristen tidak boleh diperintah untuk menggunakan atribut-atribut natalan itu seperti Sinterklas dan lain sebagainya. Tapi umat Islamnya juga mesti harus kompak tidak ikut merayakan natalan,” jelas Kyai Cholil yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu. [ahmed widad]
Selengkapnya...

Januari Nanti MUI akan Gelar Ijtima Ulama Nasional di Kalimantan Timur

 
Jakarta (Voa-Islam) – Pada akhir Januari atau awal Pebruari 2012 yang akan datang, Majelis Ulama Indonsia (MUI) akan menyelenggarakan agenda rutin: Ijtima Ulama Nasional, yang akan diikuti oleh sekitar 1600 ulama dari anggota Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia, juga para tamu undangan, beberapa tokoh ulama dari luar negeri. Rencananya, Kalimantan Timur akan dipilih untuk dijadikan tempat berlangsungnya kegiatan tersebut.
Sebelumnya pada 2009, MUI juga telah melaksanakan Ijtima’ Ulama Nasional di Padang Panjang, Sumatera Barat. Pada kesempatan itu dihasilkan berbagai keputusan maupun fatwa, salah satunya tentang fatwa haram rokok.

Sekretaris Jenderal MUI, Drs. H.M. Ichwan Sam mengemukakan, “ijtima’ ulama atau pertemuan para ulama secara nasional ini merupakan agenda rutin dua tahunan MUI untuk membahas dan mencari solusi terhadap berbagai permasalahan umat dan masyarakat yang berkembang dalam kehidupan sosial, terutama dalam hubungannya dengan aspek-aspek keagamaan.
“Banyak anggota masyarakat yang bertanya, meminta bimbingan dan panduan kehidupan keagamaan kepada para ulama di Komisi Fatwa MUI. Seperti meminta fatwa tentang kehalalan jenis-jenis makanan atau bahan tertentu, atau juga menanyakan tentang paham-paham keagamaan yang dianggap baru,dan berbagai permasalahan lainnya, mencakup aspek-aspek akidah, ibadah, dan muamalah. Maka para ulama di MUI pun berusaha menggali, mengkaji dan mencarikan solusinya. Salah satu bentuk yang dikeluarkan adalah dengan mengeluarkan serta menetapkan fatwa,” ujar Ichwan.

Ichwan meminta kepada para anggota Komisi Fatwa MUI Pusat maupun di tingkat propinsi, agar mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk agenda nasional tersebut, sehingga dapat memberikan hasil yang optimal.

Hingga saat ini, Komisi Fatwa secara kelembagaan bersama MUI telah pula menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah yang meminta panduan serupa dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Misalnya dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama, dan Badan Karantina Kementerian Pertanian. Sebagian panduan dan fatwa MUI itu telah pula diadopsi oleh pemerintah. Desastian
Selengkapnya...